Dalam suatu seminar teknologi informasi yang diselenggarakan pada
tanggal 28 April 2004 di sebuah hotel berbintang di Jalan Kuningan,
Jakarta Selatan, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang tergolong
usang, tapi mendasar. Peserta tersebut mempertanyakan bagaimana kabar
beritanya konsep infrastruktur telematika Nusantara-21 yang pernah
digagas pemerintah di zaman orde baru dulu. Pertanyaan dalam seminar
yang diadakan oleh Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) beserta beberapa
perusahaan IT tersebut ditujukan kepada Deputi Kantor Meneg Komunikasi
dan Informasi (Kominfo) Cahyana Ahmadjayadi yang dikalangan praktisi
telematika dikenal dengan pembuat konsep Sistem Informasi Nasional
(Sisfonas) sebagai langkah baru pengembangan infrastruktur telematika
saat ini.
Pertanyaan itu dikatakan serius karena dua hal. Pertama, pertanyaan
peserta tersebut cukup tajam dan jeli melihat perkembangan telematika
yang saat ini dirasakan masih belum maksimal karena belum sinkronnya
penyediaan infrastruktur informasi dan aplikasinya. Kedua, ternyata
masih ada yang penasaran dan memperhatikan perjalanan panjang telematika
Indonesia dengan mempertanyakan dua konsep infrastruktur yang berbeda
dengan tujuan sama. Singkat kata, selain menggugat perlunya integrasi
kebijakan infrastruktur dengan kebijakan aplikasi peserta tersebut
sekaligus mempertanyakan faktor kelembagaan dan produknya dalam
pengembangan telematika nasional.
Memang faktor kelembagaan atau
institusi merupakan salah satu kelemahan yang ada dalam pengembangan
telematika saat ini. Urusan infrastruktur telekomunikasi dan berbagai
kebijakan pengembangannya masih menjadi tanggung jawab Ditjen Pos dan
Telekomunikasi (Postel), Departemen Perhubungan. Sementara berbagai
aktivitas pengembangan aplikasi dan strategi pemanfaatan IT, Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan lain-lain, menjadi
kewenangan Kominfo yang sekaligus menjadi Ketua Pelaksana Tim Koordinasi
Telematika Indonesia (TKTI). Padahal secara konseptual, telah terjadi
konvergensi antara telekomunikasi, IT, multimedia dan penyiaran yang
semakin sulit untuk dikotak-kotakan.
TKTI: revisited.
TKTI
pertama kali secara formal dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres)
No. 30/1997 yang intinya berisikan langkah-langkah strategis untuk
meningkatkan kemampuan telematika nasional. TKTI pada waktu itu diketuai
oleh Menteri Koordinasi Bidang Produksi dan Distribusi (Menko Prodis).
Adapun anggotanya meliputi 11 Kementerian yang terkait dengan tujuan
TKTI. TKTI betugas antara lain: (a) merumuskan kebijaksanaan pemerintah
bidang telematika; (b) menetapkan pentahapan dan prioritas pembangunan
serta pemanfaatan telematika; (c) melakukan pemantauan dan pengendalian
atas penyelenggaraan telematika; dan (d) melaporkan perkembangannya
kepada Presiden.
Mendahului keluarnya Keppres tersebut, kerja
keras dan berbagai rapat koordinasi terus dilaksanakan yang diikuti oleh
pemerintah yang dimotori oleh Staf Menko Prodis, Ditjen Postel,
Depdagri, Bappenas, Depperindag, Depkeu dan instansi terkait lain, serta
praktisi telekomunikasi di BUMN seperti PT. Telkom, PT. Indosat, PT.
INTI, pihak swasta nasional dan Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) yang
didukung oleh berbagai Asosiasi industri telekomunikasi. Ketika itulah
dilahirkan konsep Nusantara-21 seperti tercantum dalam buku Gambaran
Umum Pembangunan Telematika Indonesia (Edisi II, 1998) yang secara garis
besar memiliki tiga sasaran untuk menyediakan prasarana informasi yang
meliputi: (a) Adi Marga Kepulauan (Archipelagic Super Highway); (b) Kota
Multimedia (Multimedia Cities); dan (c) Pusat Akses Masyarakat
Multimedia Nusantara (Nusantara Multimedia Community Access Center).
Sayangnya konsep ini sudah tidak terdengar lagi seiring pergantian
pemerintah dan kendali organisasi TKTI pada tahun-tahun berikutnya.
Tim
Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) sudah mengalami pergantian empat
kepala negara - tahun ini yang kelima - dan hampir sepuluh kali
perubahan struktur kabinet sejak dibentuk melalui Keppres no 30 tahun
1997. Setelah dari Kantor Menko Prodis, TKTI diatur dari Kantor Menteri
Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan
(Menkoekuwasbang). Pada awal masa kerja Kabinet Pembangunan VII Presiden
Soeharto telematika diurus dari Kantor Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan dan Industri/Ketua Bappenas (Menko Ekuin/Ketua Bappenas).
Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, maka
telematika kembali “menggeliat”. Berbagai berbagai aktivitas telematika
sudah mulai berjalan di bawah koordinasi Kantor Menteri Penertiban
Aparatur Negara (Menpan) yang merupakan Ketua Pelaksana Harian TKTI.
Namun karena sifatnya yang hanya koordinatif dan adhoc dimasa lalu, maka
kinerja TKTI belumlah dirasakan maksimal oleh pihak swasta dan
masyarakat.
Bentuk, fungsi dan organisasi TKTI kembali
diperbaharui melalui Keppres 50/2000 yang menugaskan Kominfo sebagai
pengendali pengembangan telematika nasional. Beberapa produk penting
telah dihasilkan dalam periode ini. Bappenas berkerjasama dengan
Universitas Indonesia telah merumuskan NITF yang laporan akhirnya telah
disampaikan kepada Bank Dunia dan TKTI sekitar bulan Februari 2001
(www.bappenas.go.id - KTIN). Dalam NITF pengembangan blue print dan
milestone telematika dibagi kedalam beberapa framework yaitu basic
framework, institutional framework, financial framework dan regulatory
framework. Berbagai tujuan, konsep dan strategi pengembangan telematika
serta waktu pelaksanaannya telah dirinci dalam upaya mewujudkan
terciptanya masyarakat telematika nusantara yang berbasiskan ilmu
pengetahuan di tahun 2020. Pada akhir April 2001, TKTI berhasil pula
merumuskan konsep pengembangan dan pemberdayaan telematika seperti
diuraikan dalam Inpres 6/2001 berikut Action Plan yang dibuat secara
bersama-sama dengan berbagai instansi terkait, termasuk swasta dan
massyarakat telematika. Namun sebagaimana halnya dengan Nusantara-21,
semua konsep di atas juga sudah tidak terdengar lagi gaung dan tindak
lanjutnya.
Kemudian pada awal tahun 2003, Keppres baru kembali
diterbitkan tentang TKTI yaitu Keprres No. 9/2003. Kali ini TKTI
diketuai langsung oleh Menteri Negara Kominfo beranggotakan 7 pejabat
lain setingkat Menteri.
Infrastruktur Telekomunikasi
Sudah
sering dibahas bahwa terbatasnya infrastruktur telekomunikasi dan
kurangnya kebijakan yang mendorong investasi masih menjadi kendala utama
pengembangan telematika nasional. Rumitnya penyediaan infrastruktur
telekomunikasi telah dibahas sebelumnya. Dari sisi regulasi dan
kebijakan makro, International Telecommunication Union (ITU) dalam World
Telecommunication Development Report, 2002 telah memberikan kunci untuk
melihat tingkat keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi. Ada tiga
hal utama yang menjadi ukuran, yaitu (a) partisipasi swasta; (b)
kompetisi; dan (c) regulator independen.
Sayangnya untuk negara
sebesar Indonesia yang pernah berprestasi cukup baik di sektor
telekomunikasi, termasuk satelit, ketiga indikator tersebut secara umum
mengalami penurunan. Partisipasi swasta sejak dihentikannya Kerja Sama
Operasi (KSO) untuk sebagian besar wilayah kerjasama, “nyaris tidak
terdengar”. Pembangunan telepon tetap yang dilaksanakan oleh Telkom dan
Indosat dalam skala relatif kecil, dapat dikatakan stagnan. Sampai saat
ini belum terlihat lagi langkah terobosan dalam hal pengikutsertaan
swasta untuk membangun fasilitas telekomunikasi, khususnya telepon
tetap. Kalaupun ada, investor lebih melirik kepada jenis jasa
telekomunikasi lain seperti telepon seluler dan jasa nilai tambah
lainnya.
Kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi juga tidak
terjadi. Duopoli telekomunikasi oleh Telkom dan Indosat masih belum
mampu memberikan hasil kompetisi yang ditunggu-tunggu masyarakat, yaitu
kemudahan dan murahnya tarif. Malah sebaliknya Telkom pada 1 April 2004
menaikkan tarif lokal yang diperkirakan berdampak cukup luas dalam
pengembangan dan pemanfaatan telematika untuk sektor riil. Singkat kata,
kompetisi sebagai kunci keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi
juga tidak terjadi. Duopoli atau bahkan “tripoli” dalam berbagai
prakteknya di negara lain umumnya memang terbukti gagal membawa berbagai
perbaikan seperti penurunan tarif, menambah pilihan bagi konsumen
ataupun memacu inovasi. Pengalaman duopoli British Telecom dan Mercury
ditahun 1980-an memperihatkan hal yang sama dengan duopoli Telkom dan
Indosat saat ini. Penambahan fasilitas telekomunikasi di Inggris baru
terjadi pada 1990-an setelah dibukanya kesempatan bagi operator Cable TV
untuk menyelenggarakan jasa telekomuniasi. Sedangkan faktor ketiga
yaitu regulator independen, juga belum menggembirakan. Jika dilihat dari
sisi pertanggungjawaban, organisasi, dan sumber pendanaan, maka Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang terbentuk berdasarkan
Keputusan Menteri Perhubungan tahun 2003 yang lalu belumlah tergolong
independen. Hal ini memang diakui oleh Menteri Perhubungan Agum Gumelar,
bahwa BRTI yang ada sekarang adalah bentuk peralihan menuju badan
regulasi yang betul-betul independen nantinya.
Kelembagaan
pengelola telekomunikasi dari dulu juga mengalami banyak perubahan. Pada
awal orde baru urusan telekomunikasi berada dibawah Departemen
Transportasi. Memasuki Pelita IV, telekomunikasi kemudian diurus dalam
Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Parpostel). Selanjutnya
hingga saat ini telekomunikasi kembali digabungkan dengan Departemen
Perhubungan. Namun dari berbagai perubahan departemen yang terjadi, ada
satu hal yang tetap, yaitu kondisi bahwa telekomunikasi secara teknis
diurus secara “berkelanjutan” dibawah Ditjen Postel. Terjadinya semacam
ekslusivisme dilingkungan Ditjen Postel ini memang bertendensi
menyulitkan pembinaan dari Departemen yang juga harus berkonsentrasi
kepada masalah perhubungan dalam negeri. Hal ini tercermin dari kuatnya
arus penentangan berupa pernyataan bersama karyawan Ditjen Postel yang
menolak rencana penggabungan pada masa awal pembentukan Kabinet Gotong
Royong dulu.
What Next?
Memperhatikan kondisi reformasi
sektor telekomunikasi di Indonesia dan rencana pengembangan telematika
yang masih jauh dari harapan, kiranya menjadi tantangan sangat berat
dikemudian hari untuk menyiapkan suatu lembaga - berupa departemen
teknis atau lembaga non departemen - yang mampu memperbaiki situasi ini.
Hal ini semakin diperlukan mengingat dampak globalisasi yang semakin
menuntut pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge Based
Economy-KBE), bukan lagi mengandalkan sumber daya alam semata.
Sudah
sepatutnya berbagai komponen bangsa dibawah pemerintahan baru terpilih
nanti untuk bersatu memulai paradigma baru pengembangan ekonomi yang
ditunjang oleh kemajuan dibidang telematika. Karena itu faktor
kelembagaan menjadi sangat penting. Kiranya dalam pemerintahan mendatang
dapat diwujudkan suatu departemen teknis atau suatu badan yang
menyatukan KBE, infrastruktur telekomunikasi, dan rencana pengembangan
IT. Singkat kata, sudah waktunya dilaksanakan peleburan instansi yang
mengurusi telekomunikasi dengan instansi yang mengurusi IT. Perlu
diingat, infrastruktur dan aplikasi barulah merupakan dua komponen.
Masih ada beberapa komponen lain yang tidak kalah pentingnya antara lain
Sumber Daya Manusia telematika, Penelitian dan Pengembangan (R&D),
dan pembinaan industri dalam negeri. Diharapkan redefinisi kelembagaan
ini selain mempercepat proses untuk mewujudkan masyarakat informasi
sesuai target WSIS, juga mampu melakukan penghematan sumber daya
nasional.
sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/eddy_satriya/artikel_eddy_satriya/pentingnya_kelembagaan__dalam_pengembangan__telematika.html
No comments:
Post a Comment